Wardiman Djojonegoro Digugat Orang Tua Siswa

Senin, 11 Agustus | Metro

 

Koran Tempo, Jakarta — Mantan Menteri Pendidikan Wardiman Djojonegoro akan digugat oleh orang tua siswa John Calvin International School (JCIS). Wardiman dinilai harus bertanggung jawab karena dia menjadi salah satu pemegang saham sekolah John Calvin.

 

“Bukan hanya Pak Wardiman, semua pemegang saham kami tuntut,” kata Hendra Siregar, kuasa hukum wali murid, kemarin. Menurut Hendra, ada 10 pemegang saham yang akan dimohonkan sebagai tergugat, termasuk direktur utama sekolah itu, Eko Nugroho.

 

Hendra menjelaskan, pelanggaran kasus itu, setidaknya, dapat dilihat dari tiga perangkat undang-undang, yakni Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen.

 

Dari sisi Undang-Undang Perseroan Terbatas, manajemen JCIS dinilai salah karena sudah beroperasi sebelum mengantongi pengesahan akta pendirian perusahaan. “Yang mereka punya cuma akta pendirian PT,” katanya.

 

Manajemen JCIS juga belum mengantongi izin penyelenggaraan dunia pendidikan sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, kata Hendra, pelanggaran itu terjadi karena jasa pendidikan yang ditawarkan oleh JCIS tidak sesuai dengan yang diterima murid. “Brosurnya saja yang kelihatan mewah,” katanya.

 

Kuasa hukum berencana mendaftarkan gugatan itu dalam waktu dekat. “Kami menunggu perkembangan tuntutan pidananya dulu,” kata Hendra. Tuntutan pidana di Polda Metro Jaya belum menunjukkan perkembangan. “Orang tua murid belum pernah diminta berita acara pemeriksaan.”

 

Sementara itu, Wardiman Djojonegoro menolak memberi tanggapan atas rencana gugatan terhadap dirinya. “Saya tidak bisa memberi tanggapan. Tanyakan ke kuasa hukum sekolah saja,” katanya saat dihubungi Tempo. Wardiman menganggap persoalan ini adalah hal yang biasa. “(Gugatan) ini biasa. Orang bertengkar kan biasa,” katanya.

 

Akbar Tri Kurniawan

Parents to Lodge Lawsuit to JCIS

The Jakarta Post, Jakarta | Thu, 07/31/2008 | Greater Jakarta

 

JAKARTA: Parents of former JCIS students plan to file a civil lawsuit against the school, which closed in May, due to incurred financial losses.

 

“We are still hoping the director and shareholders of John Calvin International School (JCIS) will settle this matter out of court by paying back all the expenses we incurred as a result of the school’s decision to close,” one parent, Sahat Panggabean, said Sunday.

 

The parents of 32 students, ranging from elementary to high school, are involved in the case. JCIS, formerly located in Pulomas, East Jakarta, had a total of 108 students.

 

Excluding a lawyer’s fee, at least Rp 1 billion (US$109,400) must be returned to the families, Sahat said.

 

The amount demanded is much smaller than the maximum Rp 2 billion fine and five years’ imprisonment school administrators would face if found guilty, he added.

 

Sahat said the school had not been approved as a legal entity by the Justice and Human Rights Ministry, and thus violated the 1982 Law on Legal Entities. It also violated the 2003 Law on National Education because it had not received a school building permit, he added.

 

On July 10, the parents, represented by their lawyer, filed a lawsuit against the school for fraud and embezzlement.

 

Police will begin questioning parents in the case this week. — JP

Pilih-pilih Sekolah Internasional

Belum Tentu Berafiliasi Dengan Sekolah di Luar Negeri

22 Juli 2008 | Metro

 

Koran Tempo. Sebulan sebelum dimulainya tahun ajaran baru, Rizal Panggabean menerima surat dari John Calvin International School (JCIS) yang berada di Korea Town Kayu Putih, Pulomas, Jakarta Timur. Tempat sekolah lima anaknya yang baru setahun dibuka itu ditutup karena bangkrut. Padahal, “Saya sudah habis ratusan juta rupiah,” kata dia. Ia bersama orang tua murid lain lalu melaporkan kasus ini ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya berbekal pasal penipuan.

 

Peristiwa ini menyadarkan para orang tua bahwa sekolah berlabel internasional yang berbiaya mahal tak menjamin berkualitas. Sebelum mendaftar, sebaiknya ditelusuri dulu legalitas sekolah itu.

 

Andre Legoh, perwakilan pemegang saham JCIS, mengklaim sudah mengantongi izin. Menurut dia, mereka pernah berhubungan dengan Suku Dinas Pendidikan Dasar Jakarta Timur. Namun, hal ini dibantah Rizal yang pernah menelusuri perizinan sekolah itu ke Dinas Pendidikan Dasar dan Dinas Pendidikan Menengah Tinggi. Katanya, “JCIS belum berizin.”

 

Lantaran itu orang tua menolak memindahkan anaknya ke Saint Pieter’s di Kelapa Gading. “Pemilik JCIS dan Saint Pieter’s, ya, itu-itu juga,” kata Supandi, orang tua dari dua siswa JCIS. Menurut Andre, sebagian besar dana sekolah sudah digunakan untuk memindahkan siswa ke Saint Pieter’s.

 

Kepala sekolahnya, John Montong, mengatakan tak mengetahui rencana pengalihan siswa JCIS. Ia menolak dikatakan sekolahnya berkaitan dengan JCIS. “Tidak ada hubungan kelembagaan,” katanya kepada Tempo.

 

Menurut John, sudah setahun ini Saint Pieter’s menyelenggarakan sekolah berstandar internasional bagi jenjang pendidikan tingkat atas. Melalui model itu, Saint Pieter’s menggabungkan kurikulum standar nasional dengan kurikulum yang diakui di Inggris.

 

John mengaku telah mengantongi izin dari Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP). “Kami sudah terakreditasi,” katanya. Namun, Kepala BSNP Djemari Mardapi mengatakan lembaganya tak pernah mengeluarkan izin. “Kami hanya membuat standar pendidikan,” kata dia.

 

Sebagian siswa JCIS juga dipindahkan ke Sevilla School di kawasan Pacuan Kuda, Pulomas, Jakarta Timur, yang berlabel internasional. Kepala Sekolah Sevilla Alfonso Hariono mengklaim menerapkan sistem pendidikan dari Cambridge University, Inggris. “Dari Dinas Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Tinggi kami ada izinnya,” ujar Alfonso. Tapi daftar sekolah internasional yang dikeluarkan Departemen Pendidikan, tidak ada nama Sevilla School.

 

Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Atas Sungkowo Mudjiamanu meminta masyarakat berhati-hati memilih sekolah yang mengklaim berstatus internasional. “Belum tentu berafiliasi dengan sekolah di luar negeri,” ujar dia. Dari data yang diperoleh Tempo, ada 259 sekolah yang merintis kurikulum standar internasional. Jika memilih sekolah sembarangan, kata dia, sertifikat kelulusannya tidak diakui. ISTI| AKBAR TRI KURNIAWAN| RIKY FERDIANTO| EKA PUTRI

 

Daftar Sekolah Internasional yang Sudah Terakreditasi

·      SMA British International School, Tangerang

·      SMA Deutsche International School, Tangerang

·      SMA Kharisma Bangsa Bilingual Boarsding School, Tangerang

·      SMA Mahatma Gandhi, Pasar Baru Selatan, Jakarta Pusat

·      SMA Mahatma Gandhi School, Kemayoran, Jakarta Pusat

·      SMA Pakistan Embassy School, Jakarta Pusat

·      SMA Jakarta International School, Jakarta Selatan

·      SMA Singapore International School, Jakarta Selatan

·      SMA Australian International School, Jakarta Selatan

·      SMA De Nederlandse Internationale School, Jakarta Selatan

·      SMA Ecole Internationale Francaise School, Jakarta Selatan

·      SMA New Zealand International School, Jakarta Selatan

·      SMA Jakarta International Korean School, Jakarta Timur

·      SMA Mahatma Gandhi National School, Ancol Barat, Jakarta Utara

·      SMA Taiwan Jakarta, Jakarta Utara

 

Sumber: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas

Sekolah John Calvin Diusut Pidana & Perdata

Minggu, 20 Juli 2008 – 05:20 wib

 

okezone.com JAKARTA  – Tidak puas menuntut pengelola sekolah John Calvin International School (JCIS) secara pidana. Komisaris utama Wardiman Djojonegoro dan Presiden Direktur Eko Nugroho JCIS akan digugat secara perdata.

 

“Gugatan perdata sudah dirancang untuk didaftarkan, saatnya meminta pertanggungjawaban pengurus dan pemegang saham JCIS,” ungkap Rizal Pangabean selaku orang tua murid yang merasa dirugikan, Sabtu (19/7/2008). Para pemegang saham harus mengembalikan uang orang tua murid yang telah diambil, tambahnya.

 

Orang tua murid telah dibebankan biaya uang masuk (tuition fee) sebesar USD3.500. Ditambah uang sekolah USD350 selama12 bulan, atau kurang lebih USD4.200. Termasuk uang tahunan sebesar USD250 per tahun, uang buku dan seragam Rp1.950.000, yang ternyata baru pendidikan berjalan satu tahun sudah bubar.

 

“Saya kurang lebih menghabiskan uang sebesar 250 juta, karena kelima anak saya bersekolah disana,” ungkapnya.

 

Kasudin Dikdas Jakarta Timur Zaenal Soleman tidak dapat banyak turut campur persoalan ini. Menurutnya otoritas sekolah swasta di luar kewenangannya.  Apalagi ini merupakan persoalan internal.

 

“Seandainya sekolah tersebut milik pemerintah, maka Suku Dinas dapat menjaga kegiatan belajar di sekolah tersebut,” ungkap Zaenal.

 

Namun Zaenal menyarankan pihak sekolah tetap melakukan musyawarah kepada orang tua murid. Tujuannya agar segera ditemui solusi segera mungkin. Namun hingga saat ini tidak ada satupun dari pihak  sekolah yang dapat dikonfirmasi.

 

Seperti yang pernah ditulis koran ini, John Calvin International School sudah tutup. Pihak sekolah pernah beralasan sekolah di Jalan Kayuputih Raya No 1 A, Pulogadung, Jakarta Timur tersebut tutup karena bangkrut.  Biaya operasional terlalu tinggi menjadi alasan yang disampaikan kepada orang tua murid. (Isfari Hikmat/Sindo/fit)

Pengaduan

Salah Urus John Calvin

[Hukum, Gatra Nomor 36 Beredar Kamis, 17 Juli 2008]

 

Hari pertama masuk sekolah biasanya diisi dengan keriangan para siswa. Mereka saling bertegur sapa atau sekadar bencengkerama di halaman sekolah. Maklumlah, cukup lama mereka tidak bertemu usai menikmati libur panjang. Namun Senin lalu, di John Calvin International School (JCIS), kawasan Korean Town, Pulomas, Jakarta Timur, suasananya beda. Halaman sekolah bertaraf internasional itu terlihat senyap. Seluruh ruang kelas kosong, tanpa ada kehadiran satu siswa pun.

 

Gedung megah berlantai empat yang dijadikan tempat belajar pada saat ini kosong melompong. Padahal, sebulan lalu, ratusan siswa dari sekolah dasar hingga sekolah menengah umum aktif belajar di bawah naungan JCIS, sekolah bertaraf internasional yang mengantongi sertifikasi dari Cambridge University. “Sejak Sabtu pekan lalu, gedungnya dikosongkan,” kata Wahyudi, buruh bangunan yang ditemui Gatra di JCIS, Senin lalu.

 

Pihak pengelola sekolah menutup lembaga pendidikan yang salah satu pemegang sahamnya adalah mantan Menteri Pendidikan Wardiman Djojonegoro itu. Penutupan sepihak ini memicu protes para orangtua murid JCIS. Tidak terima atas perbuatan sewenang-wenang itu, sejumlah orangtua murid melaporkan pengelola JCIS ke Polda Metro Jaya, Kamis pekan lalu.

 

Dalam surat laporan polisi Nomor LP/1803/K/VII/2008/SPK Unit 1, orangtua murid melaporkan Presiden Direktur JCIS, Eko Nugroho, dengan dugaan melakukan pelanggaran tindak pidana penipuan dan penggelapan (Pasal 378 dan Pasal 372 KUHP). “Saya tertipu dengan janji manis JCIS yang akan memberikan pelayanan pendidikan terbaik. Padahal, saya sudah mengeluarkan uang Rp 242 juta untuk biaya pendidikan lima anak saya di JCIS,” ujar salah satu orangtua murid, Rizal Panggabean.

 

Untuk bisa mengenyam pendidikan di JCIS, orangtua murid memang harus merogoh kocek cukup dalam. Setiap murid dikutip biaya pendidikan US$ 3.500, iuran sekolah selama 12 bulan sebesar US$ 200, fee tahunan US$ 250, serta uang buku dan seragam senilai Rp 2 juta per paket. “Kalau dihitung-hitung, total pengeluaran orangtua murid untuk satu anaknya di JCIS selama satu tahun mencapai Rp 54,5 juta hingga Rp 79,7 juta,” kata Rizal.

 

Ketika dihubungi Gatra, Wardiman Djojonegoro mengaku tak tahu banyak soal tutupnya JCIS. “Maaf, dalam soal itu, saya tak tahu-menahu,” tuturnya. “Yang bertanggung jawab itu direktur utama (Eko Nugroho). Coba tanya ke mereka,” ia melanjutkan.

 

Wardiman tidak membantah bahwa ia tercatat sebagai salah satu pemegang saham JCIS. Namun bukan sebagai pemegang saham mayoritas. “Selama ini, saya hanya share Rp 600 juta atau 600 lembar saham,” katanya.

 

Sebagai pemegang saham, Wardiman mengaku tiap bulan mendapat laporan dari pengelola JCIS. Soal keputusan menutup sekolah? “Yang tahu banyak dan mendetail yaitu direktur utama sebagai pengelola langsung JCIS,” ujarnya. Termasuk soal ranah hukum yang akan timbul akibat penutupan JCIS itu.

 

Limbungnya JCIS sebetulnya tercium orangtua murid sejak Oktober 2007. Namun beberapa orangtua murid yang bertanya kepada pihak pengelola tidak mendapat kejelasan informasi. Menjelang Maret 2008, kembali berembus rumor kebangkrutan. Ada kabar, pemegang saham belum memenuhi kewajiban menyetor dana operasional. Akibatnya, sebagian pengajar dan pengurus tidak mendapat gaji. Pengelola JCIS juga belum membayar sewa gedung kepada pemiliknya, PT Korea World Center Indonesia (KWCI). Sementara itu, perjanjian sewa-menyewa gedung sekolah antara JCIS dan KWCI akan berakhir pada akhir Juni 2008.

 

Belakangan, para orangtua yang gelisah saling mempengaruhi untuk memindahkan anak-anak mereka ke Saint Peter’s, sekolah yang masih satu grup dengan JCIS. Alasannya, kondisi JCIS sudah tidak kondusif.

 

Suhu agak mereda pada medio April, ketika salah satu dewan pendiri, Edward Chandra, menggelar acara coffee morning dengan para orangtua murid. Pada kesempatan itu, Edward menegaskan bahwa JCIS akan terus beroperasi. Isu bahwa JCIS mengalami kesulitan uang juga dibantah. Dewan pendiri berjanji menggelontorkan dana untuk biaya perbaikan sarana dan prasarana sekolah.

 

Sayang, janji dewan pendiri itu tidak terbukti. Ketika dewan pendiri bertemu dengan orangtua murid, 12 Mei dan 16 Mei 2008, tidak ada kesepakatan apa pun. Belakangan, sejumlah petinggi JCIS justru menyarankan orangtua murid memindahkan anak-anak mereka ke Saint Peter’s. Polemik pun makin tajam. Para orangtua yang merasa tidak puas langsung mengambil langkah hukum. Dibantu kuasa hukum Iran Sahril Siregal, para orangtua itu mengirim somasi ke Eko Nugroho selaku Presiden Direktur JCIS. Somasi ini dijawab dewan pendiri JCIS melalui kuasa hukumnya, Horas Panjaitan.

 

Isi jawaban somasi itu, dewan pendiri JCIS memutuskan tidak memperpanjang sewa gedung. Mengenai nasib siswa JCIS, dewan pendiri meminta Saint Peter’s menampung siswa JCIS dan membebaskan mereka dari uang pangkal. Menurut dewan pendiri, pemindahan ini menguntungkan siswa JCIS karena akan mendapat pendidikan di sekolah yang berpengalaman melaksanakan ujian dari University of Cambridge International Examination.

 

Tawaran dewan pendiri itu ditolak mentah-mentah oleh sebagian orangtua murid. “Memindahkan anak saya ke Saint Peter’s sama saja memindahkan anak saya dari mulut singa ke mulut buaya,” ujar Rizal.

 

Tutupnya operasional JCIS dibenarkan Andre Legoh. Tapi Andre menolak tudingan bahwa JCIS ditutup karena para pemegang sahamnya tidak menyetor dana sehingga JCIS mengalami kesulitan keuangan. Sekolah itu ditutup lebih karena pemilik lahan dan gedung, KWCI, tidak memenuhi kewajiban menyediakan sarana dan prasarana gedung yang disewa JCIS. Bahkan, selama JCSI menempati gedung itu, KWCI tidak menyediakan listrik PLN. Sehingga JCSI harus tekor untuk biaya operasional genset. “Pada saat ini, kami meminta KWCI mengembalikan kelebihan anggaran sewa sebesar Rp 2,3 milyar,” katanya.

 

Pihak KWCI membantah. Mereka balik menuding. “Sebenarnya mereka (JCIS) yang justru masih menunggak biaya sewa sebesar Rp 10,8 milyar,” kata Presiden Direktur KWCI, Gi Man Song. Pria Korea yang fasih berbahasa Indonesia ini mengatakan, tidak adanya suplai listrik dari PLN disebabkan aksi pencurian listrik saat fitting out gedung JCIS pada 2006. “Akibat pencurian itu, PLN menolak menambah pasokan daya listrik ke seluruh blok di kawasan Korean Town,” ujarnya.

 

Menurut Koordinator Koalisi Pendidikan, Lody Paat, apa pun pemicunya, yang pasti anak didik telah menjadi korban buruknya pengelolaan lembaga pendidikan. “Saya mendukung upaya orangtua murid yang membawa kasus ini ke ranah hukum,” Lody Paat menegaskan.

 

Untuk orangtua murid, Lody menyarankan agar hati-hati memilih lembaga pendidikan untuk anak-anak mereka. “Tidak menjamin sekolah yang mengklaim bertaraf internasional dengan memiliki sertifikasi dari pendidikan luar negeri sesuai dengan promosinya. Bisa saja itu hanya trik bisnis,” katanya.

 

Sujud Dwi Pratisto, Deni Muliya Barus, M. Nur Cholish Zaein, dan Cavin R. Manuputty

Tujuh Peran Kepala Sekolah

Selengkapnya lihat: http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/21/kompetensi-guru-dan-peran-kepala-sekolah-2/

 

Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2006), terdapat tujuh peran utama kepala sekolah yaitu, sebagai : (1) educator (pendidik); (2) manajer; (3) administrator; (4) supervisor (penyelia); (5) leader (pemimpin); (6) pencipta iklim kerja; dan (7) wirausahawan;

 

Merujuk kepada tujuh peran kepala sekolah sebagaimana disampaikan oleh Depdiknas di atas, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas hubungan antara peran kepala sekolah dengan peningkatan kompetensi guru.

 

1. Kepala sekolah sebagai educator (pendidik)

Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan dan guru merupakan pelaksana dan pengembang utama kurikulum di sekolah. Kepala sekolah yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap pengembangan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu saja akan sangat memperhatikan tingkat kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus juga akan senantiasa berusaha memfasilitasi dan mendorong agar para guru dapat secara terus menerus meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan efektif dan efisien.

 

2. Kepala sekolah sebagai manajer

Dalam mengelola tenaga kependidikan, salah satu tugas yang harus dilakukan kepala sekolah adalah melaksanakan kegiatan pemeliharaan dan pengembangan profesi para guru. Dalam hal ini, kepala sekolah seyogyanya dapat memfasiltasi dan memberikan kesempatan yang luas kepada para guru untuk dapat melaksanakan kegiatan pengembangan profesi melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan, baik yang dilaksanakan di sekolah, –seperti : MGMP/MGP tingkat sekolah, in house training, diskusi profesional dan sebagainya–, atau melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan di luar sekolah, seperti : kesempatan melanjutkan pendidikan atau mengikuti berbagai kegiatan pelatihan yang diselenggarakan pihak lain.

 

3. Kepala sekolah sebagai administrator

Khususnya berkenaan dengan pengelolaan keuangan, bahwa untuk tercapainya peningkatan kompetensi guru tidak lepas dari faktor biaya. Seberapa besar sekolah dapat mengalokasikan anggaran peningkatan kompetensi guru tentunya akan mempengaruhi terhadap tingkat kompetensi para gurunya. Oleh karena itu kepala sekolah seyogyanya dapat mengalokasikan anggaran yang memadai bagi upaya peningkatan kompetensi guru.

 

4. Kepala sekolah sebagai supervisor

Untuk mengetahui sejauh mana guru mampu melaksanakan pembelajaran, secara berkala kepala sekolah perlu melaksanakan kegiatan supervisi, yang dapat dilakukan melalui kegiatan kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran secara langsung, terutama dalam pemilihan dan penggunaan metode, media yang digunakan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran (E. Mulyasa, 2004). Dari hasil supervisi ini, dapat diketahui kelemahan sekaligus keunggulan guru dalam melaksanakan pembelajaran, — tingkat penguasaan kompetensi guru yang bersangkutan–, selanjutnya diupayakan solusi, pembinaan dan tindak lanjut tertentu sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan yang ada sekaligus mempertahankan keunggulannya dalam melaksanakan pembelajaran.

 

Jones dkk. sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan bahwa “ menghadapi kurikulum yang berisi perubahan-perubahan yang cukup besar dalam tujuan, isi, metode dan evaluasi pengajarannya, sudah sewajarnya kalau para guru mengharapkan saran dan bimbingan dari kepala sekolah mereka”. Dari ungkapan ini, mengandung makna bahwa kepala sekolah harus betul-betul menguasai tentang kurikulum sekolah. Mustahil seorang kepala sekolah dapat memberikan saran dan bimbingan kepada guru, sementara dia sendiri tidak menguasainya dengan baik.

 

5. Kepala sekolah sebagai leader (pemimpin)

Gaya kepemimpinan kepala sekolah seperti apakah yang dapat menumbuh-suburkan kreativitas sekaligus dapat mendorong terhadap peningkatan kompetensi guru ? Dalam teori kepemimpinan setidaknya kita mengenal dua gaya kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan kepemimpinan yang berorientasi pada manusia. Dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, seorang kepala sekolah dapat menerapkan kedua gaya kepemimpinan tersebut secara tepat dan fleksibel, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang ada. Kendati demikian menarik untuk dipertimbangkan dari hasil studi yang dilakukan Bambang Budi Wiyono (2000) terhadap 64 kepala sekolah dan 256 guru Sekolah Dasar di Bantul terungkap bahwa ethos kerja guru lebih tinggi ketika dipimpin oleh kepala sekolah dengan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada manusia.

 

Kepemimpinan seseorang sangat berkaitan dengan kepribadian dan kepribadian kepala sekolah sebagai pemimpin akan tercermin dalam sifat-sifat sebagai barikut : (1) jujur; (2) percaya diri; (3) tanggung jawab; (4) berani mengambil resiko dan keputusan; (5) berjiwa besar; (6) emosi yang stabil, dan (7) teladan (E. Mulyasa, 2003).

 

6. Kepala sekolah sebagai pencipta iklim kerja

Budaya dan iklim kerja yang kondusif akan memungkinkan setiap guru lebih termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul, yang disertai usaha untuk meningkatkan kompetensinya. Oleh karena itu, dalam upaya menciptakan budaya dan iklim kerja yang kondusif, kepala sekolah hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) para guru akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan, (2) tujuan kegiatan perlu disusun dengan dengan jelas dan diinformasikan kepada para guru sehingga mereka mengetahui tujuan dia bekerja, para guru juga dapat dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut, (3) para guru harus selalu diberitahu tentang dari setiap pekerjaannya, (4) pemberian hadiah lebih baik dari hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan, (5) usahakan untuk memenuhi kebutuhan sosio-psiko-fisik guru, sehingga memperoleh kepuasan (modifikasi dari pemikiran E. Mulayasa tentang Kepala Sekolah sebagai Motivator, E. Mulyasa, 2003).

 

7. Kepala sekolah sebagai wirausahawan

Dalam menerapkan prinsip-prinsip kewirausaan dihubungkan dengan peningkatan kompetensi guru, maka kepala sekolah seyogyanya dapat menciptakan pembaharuan, keunggulan komparatif, serta memanfaatkan berbagai peluang. Kepala sekolah dengan sikap kewirauhasaan yang kuat akan berani melakukan perubahan-perubahan yang inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam hal-hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa beserta kompetensi gurunya.

 

Sejauh mana kepala sekolah dapat mewujudkan peran-peran di atas, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, yang pada gilirannya dapat membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.

 

Lihat juga:

Wajah Sekolah Ada Pada Kepala Sekolah

Forum Lintas Ortu Peduli Pendidikan di http://flopp.wordpress.com/

Depdiknas Belum Uji Kelayakan John Calvin

18/07/2008 13:16 Pendidikan

Untuk lihat versi tayang, klik http://www.liputan6.com/news/?id=162480&c_id=3

 

Liputan6.com, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional mengakui belum menguji kelayakan sekolah internasional John Calvin. “Saya kira [John] Calvin itu membubarkan diri. Bagaimana menutup, tidak pernah punya izin kok ditutup,” kata Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Suyanto, baru-baru ini.

 

Sekolah yang beralamat di Jalan Kayu Putih Raya, Jakarta Timur, ini sudah setahun beroperasi. Namun ternyata mutu sekolah masih dipertanyakan. Akibat masalah internal akhir bulan lalu, John Calvin harus berhenti beroperasi. “Mereka menunggak sewa gedung sampai 2008 senilai Rp 10,8 miliar,” kata pemilik gedung, Nesti Maharani.

 

Sementara itu orangtua 108 siswa John Calvin sedang menempuh jalur hukum. Mereka berharap sekolah mengembalikan kerugian material. Sebagai gambaran, untuk masuk Sekolah Menengah Atas John Calvin, orangtua harus membayar sekitar Rp 39 juta.

 

Di sisi lain, sekolah internasional ini banyak diburu. Selain di Jakarta, sekolah berstandar dunia ini mulai bermunculan di berbagai daerah. Layaknya sekolah internasional umumnya, sekolah tersebut juga menyajikan materi pendidikan berorientasi internasional serta mempersiapkan siswanya menjadi warga dunia.

 

Sekolah-sekolah unggulan semacam ini biasanya mengadopsi kurikulum internasional dan bekerja sama dengan institusi pendidikan luar negeri yang terakreditasi dan bereputasi internasional. Meski berjuluk sekolah internasional, sekolah-sekolah itu tetap harus mengantongi izin dari Depdiknas.

 

Semua kelebihan yang ditawarkan sekolah berstandar internasional memang dapat membantu proses belajar siswa dengan lebih baik. Namun hasil akhir proses pendidikan tetap terpulang pada masing-masing siswa dalam menyerap mengembangkan pelajaran yang didapat di sekolah. (YNI/Tim Liputan 6 SCTV)

No Compensation for Students of Shut-Down John Calvin School

Thursday, 17 July, 2008 | 18:30 WIB

 

TEMPO Interactive, Jakarta: According to Andre, the shareholders have not allocated any amount of funds to compensate the students. When asked for his comments about parents having reported this matter to the police, he only commented briefly. “We will wait.”

 

Andre said the school’s management expects 50 percent of the school building’s rent fee that had been paid, will be returned by the developer. The management has paid a two-year rent fee of Rp 4,8 billion, but has only used the building for a year. The fund, he said, will be “for compensation’. However, he felt this was difficult, since there was no clause in the agreement citing any possible compensation.

 

Coordinator of JCIS’s former students’ parents’, Rizal Panggabean, said around 70 percent of the students had to find a new school on their own. “Our child was offered a transfer to Saint Peter, but we refused,” he said. “It’s like getting out of the tiger’s cage and into the lion’s mouth.” Apparently, Saint Peter and JCIS share the same management board.

 

Rizal said, his group will continue to fight for their rights, because many of the parents had spent a lot of money to put their children in JCIS. “We have paid a US$ 3.500 tuition fee, monthly tuition of US$ 4.200 for 12 months, a yearly fee of US$ 250, and books and uniforms that cost Rp 1.950.00,” he said.

 

However, the school was shut down after only one year of operation. “This is a scam,” said Rizal. “They had promised facilities like a laboratory, a canteen, and an excellent curriculum.” Moreover, Rizal said, he had paid tuition for a three-year program.

They plan to file a lawsuit against JCIS.

 

AMIRULLAH

Sekolah John Calvin Tinggalkan Utang

17/07/2008 12:38 Pendidikan

Untuk lihat versi tayang, klik http://www.liputan6.com/ibukota/?id=162431

 

Liputan6.com, Jakarta: Sekolah bertaraf internasional John Calvin di Jalan Kayu Manis Raya, Jakarta Timur, telah ditutup. Namun, pengurus sekolah masih meninggalkan utang kepada pengelola gedung dan sejumlah orangtua siswa. Kenyataan itu terbilang kontras, mengingat biaya di sekolah tersebut tinggi dan menggunakan dolar Amerika Serikat [baca: Sekolah John Calvin Ditutup Depdiknas].

 

John Calvin tercatat memiliki 108 murid yang duduk di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Setiap siswa yang masuk sekolah dasar, dikenakan biaya gedung sebesar US$ 2.500 per enam tahun. Jumlah itu belum termasuk iuran pokok sebesar US$ 250 per bulan serta uang tahunan US$ 250, dan pembayaran buku Rp 1.650.000. Jika ditotal dalam rupiah, biaya sekolah di John Calvin mencapai Rp 28.950.000.

 

Sedangkan untuk masuk SMA, orangtua harus merogoh kantong lebih dalam lagi. Betapa tidak, untuk uang gedung saja, John Calvin mematok harga US$ 3.500 per tiga tahun. Sementara sumbangan penyelenggaraan pendidikan dikenakan US$ 350, serta uang tahunan US$ 250. Beban orangtua masih ditambah dengan pembayaran buku dan baju seragam sebesar Rp 1.950 ribu. Total biaya yang harus dibayar adalah Rp 39.260.000.

 

Menyikapi hal itu, sejumlah orangtua melaporkan Direktur John Calvin Eko Nugroho kepada Kepolisian Daerah Metro Jaya, 10 Juli lalu. Mereka sekaligus mempertanyakan tanggung jawab pemerintah mengenai kasus tersebut.(IKA/Teguh Dwi Hartono).

Sekolah John Calvin Ditutup Depdiknas

17/07/2008 06:02 Pendidikan

 

Liputan6.com, Jakarta: Sekolah John Calvin International School yang berlokasi di kawasan Pulomas, Jakarta Timur, ditutup sejak 30 Juni lalu. Pasalnya, sekolah yang sudah beroperasi selama setahun dengan 108 siswa sekolah dasar hingga sekolah menengah atas ini, tidak memiliki izin dari Departemen Pendidikan Nasional.

 

Anehnya, sekolah yang mengaku bertaraf internasional nekat beroperasi dengan mengklaim menerapkan kurikulum dari Universitas Cambridge, Inggris. Bahkan, sekolah ini mencantumkan nama mantan Menteri Pendidikan Wardiman Djojonegoro sebagai komisaris utama.

 

Rizal Panggabean, salah seorang orangtua murid, mengaku telah mengeluarkan dana Rp 242 juta untuk membiayai lima anaknya bersekolah di John Calvin. Bukannya mendapat pendidikan dengan kualitas baik, tetapi sekolah ini malah ditutup. Tidak hanya bermasalah dengan siswa, pihak manajemen juga meninggalkan utang pada pemilik gedung.

 

Kepala Sub-Dinas Standarisasi dan Pengembangan Pendidikan Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Kamaludin, menyatakan sekolah swasta yang ingin mendapatkan izin prinsip harus memiliki gedung sendiri. Plus, sertifikat kepemilikan dan izin mendirikan bangunan. Selain itu, lembaga pendidikan harus mengantongi akte notaris.

 

Hingga kini, pihak manajemen John Calvin International School maupun Wardiman belum bisa dikonfirmasi.(ADO/Teguh Dwihartono)